Universitas Berbasis Pesantren: Solusi Strategis untuk Menghapus Dikotomi Ilmu Agama dan Umum

Table of Contents

 



Disclaimer: Artikel ini ditulis berdasarkan pemikiran KH. Hasyim Muzadi tentang pentingnya integrasi pendidikan pesantren dengan sistem universitas agar dapat mencetak generasi muslim yang unggul dalam ilmu dan iman.

Pendidikan adalah kunci utama dalam membangun peradaban yang maju.

Namun, di Indonesia dan banyak negara muslim lainnya, pendidikan seringkali terbagi menjadi dua aliran utama: pendidikan agama di pesantren dan pendidikan umum di sekolah atau universitas.

Hal ini menciptakan dikotomi ilmu yang seolah-olah memisahkan antara ilmu dunia dan ilmu agama. Padahal, dalam sejarah Islam, ilmu agama dan ilmu umum berjalan beriringan, saling melengkapi, dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Fenomena ini memicu pertanyaan: Bagaimana menciptakan model pendidikan yang menyatukan keduanya tanpa mengabaikan nilai-nilai keislaman?

Sejarah menunjukkan bahwa peradaban Islam pernah mencapai masa keemasan ketika ilmu agama dan sains berkembang secara harmonis.

Universitas pertama di dunia, seperti Al-Azhar di Kairo (abad ke-10), menjadi bukti nyata bahwa integrasi ilmu tidak mustahil.

Akar historis mencatat kontribusi Muslim dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Kaum Muslimin telah menjadi pelopor pendirian universitas sejak abad ke-9.

Seperti Universitas Al-Azhar di Kairo, Cordoba, dan Baghdad tidak hanya fokus pada teologi, tetapi juga mengembangkan astronomi, kedokteran, matematika, dan kimia.

Ilmuwan seperti Ibnu Sina (Avicenna) dalam bidang kedokteran, Al-Khawarizmi dalam aljabar, dan Jabir ibn Hayyan dalam kimia, membuktikan bahwa Islam mendorong eksplorasi sains empiris tanpa mengabaikan nilai spiritual.

Kontribusi Muslim dalam sepuluh bidang ilmu termasuk sistem desimal, navigasi, dan tekstil menjadi fondasi kemajuan Eropa pada Abad Pencerahan.

Sayangnya, setelah kolonialisasi, pendidikan Islam di Indonesia terjebak dalam fase "Westernisasi", di mana ilmu agama dipisahkan dari kurikulum umum. Kolonialisasi dan pengaruh Barat menggeser paradigma, membuat ilmu agama terpinggirkan. Padahal, Al-Qur'an sendiri mendorong umatnya untuk mempelajari alam semesta kauniyah sebagai bentuk ibadah.

Kini, di era globalisasi, kebutuhan akan sumber daya manusia yang kompeten secara teknis dan berkarakter religius semakin mendesak.

Di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi, muncul kebutuhan untuk mengintegrasikan sistem pendidikan pesantren dengan model pendidikan universitas.

KH. Hasyim Muzadi dalam jurnalnya menekankan pentingnya membangun universitas berbasis pondok pesantren sebagai solusi untuk menyatukan ilmu dan iman dalam sistem pendidikan Islam khususnya di Indonesia.

Dengan model ini, santri tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga mampu menguasai ilmu sains, teknologi, dan ekonomi dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.

Pesantren Sebagai Fondasi Pendidikan Islam di Indonesia

Pesantren telah lama menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan tertua di negeri ini, pesantren telah melahirkan banyak ulama, pemimpin, dan cendekiawan yang berperan besar dalam membangun bangsa.

Namun, di era modern ini, banyak pesantren yang masih mengalami tantangan dalam menyelaraskan pendidikan agama dengan kebutuhan keilmuan yang lebih luas.

Santri yang menimba ilmu di pesantren sering kali dianggap tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bersaing di dunia kerja modern.

Sebaliknya, mereka yang belajar di universitas sering kali kehilangan akar spiritualnya karena minimnya pemahaman tentang ilmu agama.

Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan sistem pendidikan yang menyatukan pesantren dengan universitas, sehingga santri tidak hanya memiliki pemahaman agama yang kuat, tetapi juga memiliki keterampilan akademik dan profesional yang mumpuni.
Model Universitas Berbasis Pesantren

Integrasi antara pesantren dan universitas adalah solusi inovatif untuk menciptakan generasi muslim yang berilmu dan berakhlak.

Pesantren bukan hanya tempat mengaji, tetapi juga laboratorium kehidupan yang mengajarkan kemandirian, kepemimpinan, dan solidaritas.

Beberapa pesantren seperti Gontor dan Tebuireng telah berhasil mengintegrasikan madrasah dengan sekolah umum, bahkan mendirikan perguruan tinggi.

Universitas berbasis pesantren harus memiliki ciri khas:
  • Kurikulum yang menggabungkan ilmu agama (ushuluddin, syariah) dengan sains modern (kedokteran, teknologi).
  • Sistem asrama untuk membentuk karakter dan kedisiplinan.
  • Pembelajaran berbasis proyek yang mengaitkan teori dengan masalah nyata, seperti pengelolaan lingkungan atau pemberdayaan ekonomi umat.
Model ini tidak hanya mempertahankan nilai-nilai pesantren, tetapi juga menerapkan standar akademik tinggi yang biasa ditemukan di universitas.
Beberapa elemen kunci dari model ini meliputi:
  • Kurikulum Holistik – Kurikulum yang mencakup ilmu agama dan ilmu umum secara seimbang. Santri tidak hanya belajar tafsir, fiqh, dan hadits, tetapi juga mempelajari ilmu sains, teknologi, ekonomi, dan sosial.
  • Metode Pembelajaran Integratif – Model ini menggabungkan metode pengajaran tradisional pesantren seperti halaqah (diskusi keagamaan) dengan metode akademik modern seperti riset ilmiah dan studi kasus.
  • Pendidikan Karakter Berbasis Akhlak – Selain membangun intelektualitas, model ini juga membentuk karakter santri agar menjadi ilmuwan dan profesional yang berakhlak islami.
  • Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Syariah – Universitas berbasis pesantren dapat mengajarkan keterampilan kewirausahaan berbasis syariah agar santri mampu berkontribusi dalam ekonomi Islam global.
  • Teknologi dan Digitalisasi Pendidikan – Untuk menjawab tantangan zaman, model ini juga mengadopsi sistem pembelajaran berbasis teknologi digital agar santri tidak tertinggal dalam perkembangan dunia modern.

Relevansi dengan Kondisi Saat Ini

Di era globalisasi, kompetisi di dunia kerja semakin ketat. Para lulusan pesantren perlu memiliki keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dengan lulusan dari sistem pendidikan lain.

Model universitas berbasis pesantren ini memberikan solusi bagi santri untuk mendapatkan ilmu agama sekaligus keterampilan akademik dan profesional yang dibutuhkan di dunia modern.

Selain itu, dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya ekonomi syariah, lulusan dari model pendidikan ini juga dapat menjadi penggerak utama dalam pengembangan industri halal, perbankan syariah, dan sektor ekonomi Islam lainnya.

Optimalisasi Model Universitas Berbasis Pesantren

Agar model ini dapat diimplementasikan secara maksimal, diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
  • Meningkatkan Kualitas Kurikulum: Kurikulum harus terus dikembangkan agar relevan dengan kebutuhan zaman. Integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum harus dilakukan dengan seimbang agar lulusan memiliki wawasan yang luas.
  • Membangun Kerja Sama dengan Berbagai Pihak: Kolaborasi antara pesantren, universitas, pemerintah, dan industri sangat penting untuk memastikan lulusan model ini dapat terserap di berbagai sektor pekerjaan.
  • Menyediakan Infrastruktur dan Teknologi yang Mendukung: Penggunaan teknologi dalam pembelajaran harus dimaksimalkan agar santri terbiasa dengan perkembangan dunia digital. Akses internet, perpustakaan digital, serta laboratorium riset harus menjadi bagian dari sistem ini.
  • Memberikan Beasiswa dan Dukungan Keuangan: Agar pendidikan dapat diakses oleh semua kalangan, program beasiswa dan dukungan keuangan harus diperbanyak sehingga semakin banyak santri yang dapat merasakan manfaat dari sistem ini.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia berevolusi mengadopsi sistem madrasah (kurikulum terstruktur) dan sekolah formal sejak era kolonial.

Pasca-kemerdekaan, Kementerian Agama dan Pendidikan Nasional mendorong integrasi pesantren dengan pendidikan modern. Contohnya, Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Nahdlatul Ulama yang lahir dari basis pesantren. Selain itu Di beberapa contoh universitas yang dikenal sebagai univesitas berbasis pesantren antara lain Universitas Darussalam Gontor, Universitas Al Qolam Malang, Universitas Darunnajah, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) di Probolinggo, Universitas Madani, dan lain-lain.

Perkembangan ini sejalan dengan sejarah Barat, di mana universitas seperti Oxford dan Denver awalnya berbasis gereja. Tantangannya adalah menjaga identitas keislaman sambil mengadopsi kemajuan sains, serta menghindari sekularisasi ilmu.

Apresiasi atas Komitmen Pemerintah

Pemerintah Indonesia patut diapresiasi atas langkah progresif dalam memperkuat integrasi pesantren dan universitas. 
  • Perpres No. 82/2023 tentang Penguatan Pendidikan Pesantren menjadi landasan hukum yang jelas untuk menyinergikan kurikulum agama dan umum. 
  • Program Beasiswa Santri Berprestasi dengan alokasi Rp 1,2 triliun (2023) untuk 50.000 santri juga membuka jalan bagi lulusan pesantren mengakses pendidikan tinggi. Upaya digitalisasi melalui program "1.000 Pesantren Digital" (Kemkominfo, 2022-2024) telah membawa 65% pesantren di Jawa terhubung dengan platform pembelajaran modern. 
  • Tak kalah penting, pendirian Ma’had Aly di 150+ pesantren (Kemenag, 2023) membuktikan komitmen negara dalam mengakselerasi transformasi pesantren tradisional menuju perguruan tinggi berbasis keislaman. Seperti Al-Azhar di Mesir yang menggabungkan kedokteran dengan studi hadis, langkah ini mengembalikan khittah kejayaan Islam yang memadukan sains dan spiritualitas.
Inisiatif tersebut selaras dengan visi KH. Hasyim Muzadi tentang pentingnya menyiapkan santri sebagai knowledge workers yang religius.

Kesimpulan Penulis

Pendidikan pesantren berbasis universitas adalah salah satu jawaban alternatif atas tantangan pendidikan Islam di era modern.

Dengan menyatukan ilmu agama dan ilmu umum dalam satu sistem yang terintegrasi, kita dapat mencetak generasi muslim yang unggul dalam keilmuan sekaligus memiliki karakter islami yang kuat.

Sebagai bangsa dengan mayoritas muslim, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pendidikan Islam dunia.

Pemerintah juga perlu memperhatikan keberlanjutan pendidikan santri ke jenjang yang lebih tinggi terutama bagi santri yang berasal dari pendidikan salaf atau pesantren tradisional agar mereka juga mendapatkan keseimbangan antara ilmu agama juga ilmu umum.

Dengan mengembangkan model pendidikan ini, kita tidak hanya mempertahankan tradisi pesantren, tetapi juga memastikan bahwa lulusan pesantren dapat bersaing di dunia akademik dan profesional.

Mari kita bersama-sama mendukung pengembangan pendidikan Islam yang holistik, berbasis tauhid, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman.

*Sumber: KH. Hasyim Muzadi, "Membangun Universitas Berbasis Pondok Pesantren" dalam jurnal pendidikan Islam. Penulis berusaha menyampaikan kembali dengan bahasa yang lebih sederhana agar lebih mudah dipahami. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan bagi penulis sendiri dan juga bermanfaat bagi para pembaca.

Beberapa Hal Penting Terkait:

Accordion Pertanyaan & Jawaban
Siapa KH Ahmad Hasyim Muzadi?
KH. Ahmad Hasyim Muzadi (1944–2017) adalah ulama dan tokoh nasional yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU selama dua periode (1999–2010). Dikenal sebagai sosok nasionalis dan pluralis, ia aktif di organisasi kepemudaan Islam sebelum meniti karier di NU dan politik. Selain pernah menjadi anggota DPRD Jawa Timur dan calon wakil presiden pada 2004, ia juga mengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam di Malang dan Depok. Setelah purna tugas di PBNU, ia menjabat sebagai Wakil Rais Aam (2010–2015), terus berdakwah, dan berkontribusi dalam pendidikan hingga akhir hayatnya.
Apa saja sembilan paradigma untuk menghilangkan dikotomi ilmu agama-umum?
1. Sifat Ilmu: Ilmu objektif (fakta independen) dan subjektif (bergantung pada persepsi manusia).
2. Tauhidullah: Integrasi ilmu agama (al-ilm bi al-din) dan ilmu empiris (al-ilm bi al-ka’inat) dalam kerangka tauhid.
3. Ide Ilmiah dari Al-Qur’an: Wahyu sebagai inspirasi pengembangan sains, bukan sekadar dogma.
4. Harmoni Akal-Wahyu: Kebenaran wahyu dan logika saling melengkapi, bukan bertentangan.
5. Finalitas Ajaran Pokok: Ibadah bersifat tetap (contoh: shalat), sementara muamalah (interaksi sosial) fleksibel sesuai konteks.
6. Keadilan: Keseimbangan antara teori dan praktik, serta keselarasan ucapan-tindakan.
7. Kebenaran dalam Realitas: Ilmu empiris harus berbasis fakta, bukan asumsi abstrak.
8. Teori Fitrah: Manusia dilahirkan dengan potensi akal, syahwat, dan ghadlab (daya bertahan) yang perlu diarahkan oleh wahyu.
9. Ilmu untuk Kesejahteraan: Penguasaan sains dan teknologi sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab kekhalifahan di bumi.
Apa saja lima fase perkembangan sejarah pendidikan Islam?
Fase pertama (pra-pengaruh Barat) berlangsung ketika pendidikan Islam murni berbasis nilai dan tradisi lokal tanpa intervensi budaya asing. Fase kedua dimulai pada abad ke-19, di mana pemimpin pembaru seperti di Turki Usmani mulai mengadopsi sistem pendidikan Barat untuk memodernisasi lembaga Islam. Fase ketiga terjadi di bawah penjajahan, di mana pendidikan Islam dikendalikan untuk kepentingan kolonial, seperti yang dialami Indonesia di bawah Belanda. Fase keempat pascakemerdekaan ditandai dengan ekspansi pendidikan formal melalui madrasah dan sekolah, sementara fase kelima (1960-an hingga kini) muncul sebagai respons globalisasi, dengan seruan "mengislamkan" pendidikan untuk menjawab dikotomi ilmu agama-umum.
Apa saja kontribusi Muslim terhadap 10 bidang utama ilmu?
1. Kedokteran: Al-Razi (ensiklopedia Al-Hawi) dan Ibnu Sina (Canon of Medicine) menjadi rujukan Eropa hingga abad ke-17.
2. Kimia: Jabir ibn Hayyan menemukan asam mineral dan teknik distilasi.
3. Astronomi & Navigasi: Peta bintang Muslim membantu penjelajahan Eropa, termasuk pelayaran Columbus.
4. Sistem Desimal: Pengenalan angka nol (0) memicu revolusi matematika modern.
5. Aljabar: Konsep Al-Khawarizmi menjadi dasar ilmu matematika Barat.
6. Kertas: Teknik produksi kertas dari Cina disebarkan Muslim ke Eropa via Spanyol.
7. Bubuk Mesiu: Dikembangkan untuk senjata, berbeda dari penggunaan awal di Cina.
8. Tekstil: Pengenalan sutra dan teknik tenun ke Eropa.
9. Agrikultur: Penyebaran tanaman seperti kopi dan gula.
10. Teknologi Mesin: Kincir air dan angin untuk irigasi dan pertanian.
Apa itu Teori Pendidikan Qur'anik: Tarbiyatu Ulil Albab (TUA)?
TUA adalah model pendidikan Qur’ani yang dirancang untuk mencetak manusia ulil albab (berakal mendalam). Konsep ini digali dari QS. Ali Imran: 190-191, dengan tiga pilar utama:
1. Dzikir: Penguatan spiritual melalui shalat, puasa, dan membaca Al-Qur’an.
2. Fikr: Pengembangan nalar kritis melalui studi sains, sosial, dan refleksi alam.
3. Amal Saleh: Aplikasi ilmu untuk kemanfaatan sosial, seperti pengabdian masyarakat.

Indikator Keberhasilan:
- Rohani: Memiliki akhlak mulia (jujur, rendah hati) dan kedekatan dengan Allah.
- Intelektual: Menguasai disiplin ilmu spesifik yang memperkuat iman.
- Fisik: Sehat jasmani melalui olahraga dan disiplin hidup.
- Sosial: Kontribusi nyata dalam memecahkan masalah umat.

Posting Komentar